77 tahun sudah sang saka merah putih berkibar di atas sana. Entah langit itu sedang berwarna gelap ataupun cerah, masih dan akan terus berdiri tegak dengan gagah. Jika dibandingkan dengan usia hidupnya manusia zaman sekarang, sudah melewati masa pensiun, sudah tua, sudah usang. Biasanya, kita memanggilnya dengan sebutan mbah untuk orang yang lebih tua dan berusia diatas 70, tapi ini bukan tentang persoalan usia sang merah putih, melainkan MBAH disini adalah suatu kata pangkasan. MBAH, Merah Biru Abu Hitam, suatu rangkaian kata yang sangat tidak familiar, tapi mempunyai segudang arti untuk tumbuhnya Merah Putih saat dini maupun saat senja usia.

Bukan tentang warna pelangi yang muncul selepas derasnya rintik hujan, ini adalah tentang fase terbentuknya rasa kasih yang tereksplorasi melalui jenjang warna merah, biru, abu, hitam setelah terjadinya pertumpahan darah pahlawan kita. Sekilas memang terlihat serupa, tapi warna inilah yang selanjutnya akan membalikkan tumpahan darah dari pahlawan lampau, menjadi jutaan air mata bahagia pemudi pemuda bangsa di masa depan yang tetap menganut nilai-nilai Pancasila. Bak rangkaian kata dari bapak proklamator Indonesia, Bung Karno: “Seribu orang tua bisa bermimpi, namun satu orang pemuda bisa mengubah dunia.” Begitulah harapan beliau untuk pemudi pemuda yang ada di tanah air kelak bersambung dengan satu kata setelahnya, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”, berkorelasi dengan merah, biru, abu, hitam, inilah tahapan yang harus dilalui untuk setiap pemuda pemudi yang akan membangun satu bangsa yang memiliki karakter pancasila, rasa sayangnya terhadap tanah air, lalu menimbulkan rasa cinta kepada masyarakat banyak.

MBAH Merah Putih
Baca juga: Perempuan Muda Menginspirasi di Indonesia

Merah

Merah adalah warna yang pertama, warna yang merupakan landasan dasar untuk mengenalkan berbagai rasa yang akan menjadi satu, bagaimana langkah awal bersosial, bermasyarakat. Yup, putih merah merupakan pupuk  dasar dari pemudi pemuda harapan bangsa. Tahapan ini biasa dikenal dengan Sekolah Dasar atau SD, dimana dimulailah ajaran ajaran Sila yang terdapat pada Pancasila, untuk memulai kecintaan di Pendidikan pertama yang sudah mulai berinteraksi dengan berbagai perbedaan tetapi belajar bagaimana ber-Bhinneka Tunggal Ika. Mulai dari Pendidikan dasar sila pertama sampai sila yang kelima, se-dasar tidak mengganggu teman yang sedang beribadah, menolong teman yang sedang susah, menjaga kerukunan dengan teman di sekolah,  menghormati keputusan Bersama, sampai melakukan kerja bakti Bersama-sama. Sungguh indah sekali melihat pemandangan di Pendidikan pertama yang ada di tanah air tercinta. Merah adalah berani, artinya satu kaki sudah menepak dan akan berjuang untuk memahami tanah air dimana kaki kita berpijak.

Biru

Biru adalah warna yang kedua, mungkin sudah bisa tertebak, ya, putih biru sebagai Pendidikan kedua yang selanjutnya bisa kita sebut sebagai Sekolah Menengah Pertama. Bagaikan luasnya samudera yang ada di Indonesia, begitupun saat memasuki warna putih biru. Lingkungan yang sudah mulai kompleks serta implementasi pertama terhadap bagian bagian dari sila. Fase yang mengajarkan bagaimana sejarah yang ada di tanah air, tanggal-tanggal penting, tonggak perjuangan, serta bagaimana perjalanan Indonesia dari waktu ke waktu hingga saat ini tiba. Disinilah waktu untuk memenuhi luasnya biru samudera di Pendidikan kita, bukan diisi dengan ikan, melainkan adalah ajaran dari sejarah yang sudah terukir dari sebelum atau sesudah 1945 yang selanjutnya akan memasuki warna ketiga.

Abu-Abu

Abu-Abu adalah warna fase ketiga, warna yang mulai memudar setelah dua fase sebelum ini adalah warna yang cerah. Masa dimana seorang pemudi pemuda akan sedikit dibingungkan antara dua pilihan, yaitu Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan. Masa dimana seorang pemudi pemuda harus bisa mempertanggungjawabkan akan keputusannya. Masa dimana anak bangsa dihadapkan untuk segera memulai hidup dengan berpikir kritis sepenuhnya. Dua pilihan itu semuanya memiliki karakter dan spesialnya masing-masing, menjadikan akar dari hidup atau karir setelahnya. 

Hitam

Hitam, warna yang paling tegas, bukan warna yang lemah. Kesempurnaan dari warna-warna sebelumnya. Pola pikir menjadi inti dari semua diskusi, permasalahan, serta bagaimana pemudi pemuda akan bertindak. Putih Hitam, begitulah gambaran Ketika generasi bangsa kita memasuki Pendidikan terpenting di hidupnya, akan menjadi apa kelak. Semuanya menyatu di warna putih hitam, semua elemen dari Sabang sampai Merauke berbaur menjadi satu demi kecintaan terhadap tanah air, implementasi dari semua sila yang sesungguhnya. Saling bersaing secara sehat dan tetap bertoleransi terhadap sesama. Perbedaan budaya, pola pikir, agama, suku, ras sudah berbaur menjadi satu demi cita cita bangsa Indonesia, “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.

Pendidikan Kewarganegaraan yang akan bermuara kepada Kecintaan terhadap Indonesia melalui MBAH, seperti berlangsung seumur hidup, dimulai dari Pendidikan dasar, sampai Pendidikan tinggi yang selanjutnya akan di implementasikan sampai usia tua. Semua sudah dirancang untuk belajar mencintai tanah kelahiran, menghargai jasa-jasa dari pahlawan yang sudah berjuang tumpah darah demi Indonesia. Tak heran, Ketika seorang anak bangsa baru saja lahir, doa yang terpanjatpun tak jauh dari kata “Semoga menjadi anak yang berguna untuk masyarakat, bangsa, dan negara”.

Nidji menggambarkan warna pelangi untuk dijadikan sebuah laskar dengan lirik yang menggambarkan arti sebuah kebersamaan dengan cinta yang total.

“Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Jangan berhenti mewarnai
Jutaan mimpi di bumi”

Mimpi itu bisa nyata, dengan semua proses pendidikan yang kini sudah terjalin sebagai salah satu kewajiban untuk semua anak bangsa. “Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis.” Aristoteles juga sepakat bagaimana pendidikan merupakan landasan untuk menuju kemajuan sebuah bangsa maupun peradaban yang ada di dunia. Jalani, perjuangkan, jika sudah berhasil, terapkan, semua untuk satu cinta, Indonesia.

 

 

Sebuah karya dari Abdul Aziz