“Lex Semper Dabit Remedium” ⚖️

Pendidikan merupakan tumpuan penting dalam suatu negara, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi hal yang mutlak dilakukan agar suatu bangsa menjadi kuat dan mempunyai daya saing terhadap negara lain. Dikutip dalam Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” menjadi kalimat sakti yang lahir dari tokoh-tokoh bangsa melalui konstitusi. Sehingga setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk mengenyam bangku sekolah dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional.

Hak setiap masyarakat untuk memperoleh sarana dan prasarana pendidikan juga telah disediakan anggarannya melalui amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (4) yaitu sebesar 20% dari APBD. Angka tersebut guna mengakomodir kebutuhan dalam sistem pendidikan nasional. Tentu postur anggaran yang tidak main-main, sehingga upaya tersebut menjadi cerminan bahwa pendidikan membutuhkan perhatian intensif sebagai upaya meningkatkan taraf mutu masyarakat Indonesia.

Aturan tentang pendidikan yang merupakan amanat konstitusi menjadi kesempatan bagi masyarakat Indonesia, termasuk saya. Seorang laki-laki yang lahir disaksikan eloknya Gunung Prau di salah satu pelosok desa bernama Pikatan. Tumbuh besar dan berkembang bersama teman sebaya yang paras mukanya masih nampak bersahaja, tatapan polos yang selalu teduh untuk dipandang, disertai tawa renyah nihil resah tentang esok hari yang dewasa ini sering disebut sebagai “ekspektasi”. 

Tujuh belas tahun menempuh pendidikan di negara ini, dari era menteri pendidikan Bapak Bambang Sudibyo hingga menteri pendidikan Mas Nadiem Makarim menjadi perjalanan yang cukup panjang bagi saya untuk mencicipi berbagai kurikulum yang diterapkan, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KTB), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 (Kurtilas), hingga Kurikulum Merdeka. 

Mengawali pendidikan di Sekolah Dasar yang saya kenal dulu bernama SD INPRES, yang merupakan kebijakan dari Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden No.10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Sekolah Dasar. Dari sana saya mengenal sekurang-kurangnya tentang ilmu pengetahuan dan kemampuan dasar tentang membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa menggunakan bahasa Indonesia. Menjadi bekal yang kekal dalam pencarian ilmu pengetahuan ke jenjang berikutnya.

Berlandaskan ijazah yang diterima sebagai bukti sah kelulusan di Sekolah Dasar, saya melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai jembatan pendidikan formal yang wajib ditempuh oleh seseorang sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya. Pembelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama memberikan penekanan terhadap aspek karakter saya dan peserta didik lain. Hal tersebut menjadi metode paling ampuh bagi siswa yang diampu. Bukan tanpa alasan, pemerintah mulai mencanangkan pendidikan karakter di jenjang pendidikan menengah pertama. Hal tersebut  menjadi akurat dan tepat guna karena mulai diterapkan bagi peserta didik yang sedang dalam masa penuh keingintahuan dan memulai petualangan dalam pencarian jati dirinya.

etika digital
Baca Juga: Etika Digital: Mengapa Penting bagi Mahasiswa Indonesia Pelajar Pancasila?

Berlanjut ke masa dimana saya memasuki fase akhir usia remaja, berkisar di usia 14 hingga 19 tahun. Fase akhir di dalam psikologi manusia menuju dewasa, seiring dengan perkembangan nalar berfikir seseorang untuk menentukan apa saja yang dianggap baik dan apa saja yang dianggap buruk sekaligus fase untuk mengkonfirmasi apapun yang dipercaya. Tak luput juga urusan romansa, fase ini menjadi puncak gelora asmara dalam diri setiap manusia untuk memikat lawan jenis dengan tujuan bisa mengungkapkan kata “I have a crush on you”.  Dalam rentan waktu tersebut saya habiskan tiga tahun penuh guna menempuh pendidikan lanjutan di Sekolah Menengah Atas (SMA), memulai mempelajari konsep diri yang berangsur-angsur kian mengkristal sebagai pondasi jiwa dan pikiran dalam bekal menjalani kehidupan.

Setelah wajib belajar dua belas tahun ditempuh, usai sudah predikat saya sebagai seorang siswa sehingga mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2022, jumlah mahasiswa di Indonesia sebanyak 9,32 juta orang. Sebagai salah satu dari jutaan orang yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, patut untuk saya syukuri bisa berada dalam golongan calon-calon cendekiawan dengan fungsi dan peran sebagai penjaga nilai-nilai kebenaran, dan sebagai Agent of Change atau agen perubahan sebuah bangsa.

 Ijazah yang telah saya kantongi menjadi bahan bakar utama untuk melenggang menjadi siswa tingkat lanjut yaitu seorang mahasiswa hukum. Berkecimpung dalam bidang hukum, secara tidak langsung membentuk saya menjadi pribadi yang lebih kritis dalam menyikapi sebuah konflik karena terbiasa melihat friksi serta perselisihan dalam sudut pandang objektif. Selain menjadi kritis, seorang mahasiswa hukum dituntut untuk menjadi seseorang yang mempunyai integritas tinggi. Hal tersebut menjadi sangat penting, karena untuk menjalankan penegakan hukum seorang akademisi maupun praktisi hukum wajib mempunyai instrumen keberanian, kepedulian, serta kejujuran.

Hukum Memberikan Solusi Pendidikan
Ilustrasi gambar dari Racool_studio di Freepik

“Lex Semper dabit remedium” salah satu dari sekian banyak adagium yang selalu terngiang dalam isi otak saya saat menjadi mahasiswa hukum di Fakultas Syariah dan Hukum, salah satu Perguruan Tinggi Islam di Yogyakarta. Dalam adagium tersebut memberikan pengertian bahwa hukum selalu memberikan solusi. Sebagai seorang mahasiswa hukum, saya di doktrin oleh dosen-dosen dan guru-guru besar hukum lainnya bahwa hukum dapat memberikan kepastian melalui peraturan-peraturan yang tertulis maupun yang menjadi kesepakatan tidak tertulis dalam sebuah kelompok  masyarakat. Sehingga dunia akan selalu membutuhkan hukum sebagai tonggak yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat untuk mencapai keadilan bagi setiap individu. Dengan kata lain profesi-profesi yang erat kaitanya dengan hukum senantiasa akan tetap ada mengikuti kebutuhan masyarakat.

 Menjadi mahasiswa hukum membuka peluang yang tinggi untuk berkiprah menjadi praktisi-praktisi hukum. Sebagai satu contoh profesi dalam bidang hukum yang saya tekuni saat ini yaitu sebagai seorang legal officer di PT Solusi Kampus Indonesia. Legal officer merupakan staf sebuah perusahaan yang umumnya di rekrut dari lulusan-lulusan fakultas hukum perguruan tinggi. Dalam sebuah perusahaan, tugas yang diemban oleh seorang legal officer adalah menangani dokumen perizinan, lebih lanjut menangani permasalahan hukum baik lingkup perdata maupun pidana. Seorang legal officer memiliki peran yang krusial di suatu perusahaan, karena langkah-langkah yang dilakukan oleh sebuah perusahaan (corporate action) sangat bergantung pada surat-surat, dokumen kontrak, perizinan, serta langkah hukum lain apabila terjadi permasalahan yang menjerat suatu perusahaan. 

Artinya, jika dilihat lebih jauh, peran sebagai seorang legal officer di sebuah perusahaan menjadi sesuatu yang penting. Oleh karena itu, profesi hukum tersebut akan senantiasa menjadi kebutuhan dalam sebuah industri. Pada akhirnya kita semua tahu bahwa profesi tersebut menjadi ladang hijau bagi lulusan-lulusan fakultas hukum yang ada di Indonesia. Fakta tersebut memberi pengertian bahwa hal yang secara umum diketahui maka tidak perlu ada pembuktian (notoire feiten notorious).  

 

Sebuah pemikiran dari Ahmad Alwi Asagaf