Lahir dan besar di tanah Indonesia adalah satu hal yang saya syukuri hingga saat ini. Tanpa menafikan aspek globalisasi dan perkembangan teknologi yang sudah pasti terjadi, jauh sebelum itu, kami sudah memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang berguna untuk memandu kami bertata laku dan menyikapi hidup. Kearifan lokal tersebut berbeda-beda setiap daerahnya namun memiliki ciri khas tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan setempat, ditambah penyebarannya melalui cerita mulut ke mulut antar generasi. Disadari atau tidak, kita semua pernah, barang sekali-dua kali, terpapar pengetahuan lokal tersebut.

 

Desa mawa cara, negara mawa tata.

Ungkapan yang berarti desa memiliki adatnya sendiri, negara memiliki hukumnya sendiri. Dalam sistem pendidikan, ungkapan inipun berlaku. Negara memiliki kurikulum nasional yang diterapkan secara rata untuk setiap instansi pendidikan. Namun, desa dengan otonominya sendiri niscaya bisa menjadi pihak yang mendorong proses-proses dialogis dalam instansi pendidikan melalui adatnya masing-masing. Untuk mewujudkannya, pendidikan perlu memberi pengakuan pada kearifan lokal dan tradisional, dengan melibatkan masyarakat lebih dari sekadar konsumen. 

Berbagi pengalaman ketika saya menempuh pendidikan sekolah dasar, menengah, dan atas (bagian dari wajib program belajar 12 tahun), saya mengakui bahwa kurikulum pendidikan di tanah air cukup berhasil diintegrasikan dengan kearifan lokal. Meskipun dibayangi program industri 4.0 yang menjadikan standar pendidikan lebih dipengaruhi PISA (sistem ujian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development), aspek budaya tidak luput dimasukkan ke dalam komponen pembelajaran. Selalu ada pelajaran bahasa daerah, kesenian dan budaya, di samping ilmu pengetahuan berbasis pengetahuan urban seperti matematika atau kimia. 

Melalui berbagai materi yang dituangkan ke dalam tugas dan pemaparan dari guru, saya memperoleh kesadaran dan pengalaman eksplorasi berbagai pengetahuan lokal dan kebudayaan di daerah saya. Misalnya, saya pernah mendapat tugas membuat pidato dalam bahasa Jawa yang mengharuskan saya untuk berkonsultasi kepada orang tua di desa yang mahir berbahasa. Saya juga pernah berkunjung ke pengrajin wayang di desa saya sebagai tugas kesenian. Pada kesempatan lain, saya diberi tugas mengeksplorasi secara daring mengenai kearifan masyarakat adat dalam merawat ibu bumi. 

Berlandaskan akumulasi pengalaman tersebut, saya percaya bahwa di tanah air ini sudah terdapat kesadaran pendidikan berbasis pada pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan di sini dimaksudkan sebagai pendidikan yang membuka kemungkinan bagi subjek didik untuk bisa bebas mengeksplorasi dunia dan sekitarnya, dengan segala konsekuensi. Pendidikan semacam ini memberi kesempatan untuk setiap subjek didik yang gelisah dan penasaran. Juga memberi keleluasaan untuk subjek didik berpetualang dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan bahkan terra incognita (dunia yang belum dikenal).

Meskipun dalam beberapa hal, kebudayaan diperkenalkan secara romantis daripada kritis. Hal ini dapat menjadi reflektivitas yang membangun untuk penyusunan kurikulum selanjutnya. Dapat dilihat bahwa pelajaran seni dan budaya masih berkutat pada informasi rumah tradisional, musik daerah, pakaian adat, dan sebagainya. Misal dengan banyaknya vegetasi di daerah saya tinggal, saya tidak pernah dalam ruang kelas diajarkan mengenai pengembangan benih pangan lokal atau sistem tata kelola lahan yang berbasis pengetahuan lokal. Hal-hal semacam itu saya dapatkan melalui pembelajaran di luar kelas. 

Mencintai Paradigma Pendidikan yang Membebaskan di Indonesia
Baca juga: Siapkah Dunia Pendidikan Menghadapi Metaverse?

Menanggapi kekurangan pada pola pembelajaran yang belum optimal ini, meski sedikit gamang, saya bersyukur dan semakin cinta dengan tanah air Indonesia. Air, tanah, dan seluruh alamnya, masyarakat kelola secara kolektif karena alam selalu memberikan imbalan terbaik apabila kita berlaku sama terhadap mereka.  Atau dengan kata lain, keanekaragaman hayati di Indonesia sangatlah lengkap, satu paket dengan kearifan lokal tentang bagaimana masyarakat mengelolanya. Bahkan tidak jarang penemuan di bidang kesehatan modern oleh peneliti dari berbagai belahan dunia dimulai dengan datang ke Indonesia, berinteraksi dengan orang-orang desa, mencatat kebiasaan mengenai tanaman obat dan penyembuhan yang biasa mereka praktikkan, lalu mengembangkannya menjadi temuan yang hingga kini punya pengaruh besar dalam bidang kedokteran.

Ini mengingatkan saya pada momentum pandemi Covid-19 bahwa betapa pengetahuan lokal dalam berbagai prakteknya banyak dicari dan dipraktikkan kembali dalam membantu penanganan virus. Salah satu contohnya, jauh sebelum ramainya anjuran pihak berwenang untuk secara rutin membersihkan diri, masyarakat daerah saya sudah memiliki tradisi mencuci tangan, kaki, dan membasuh muka sebelum masuk rumah. Terdapat padasan (gentong besar dari tanah liat yang berisi air) yang diletakkan di pekarangan rumah-rumah warga. Ini disebabkan mayoritas penduduk di daerah saya berprofesi sebagai petani yang bekerja di sawah, sehingga sebelum masuk ke rumah perlu membersihkan diri. 

Kemajuan teknologi bagaimanapun juga akan terus berkembang, dalam prosesnya kekayaaan budaya dan kearifan lokal masyarakat dapat dengan mudah tersisih. Menyadari hal ini, saya berharap pendidikan dalam negeri bisa menjadi jembatan antara pengetahuan dengan masyarakat. Kekayaan nusantara terlalu sayang untuk dilewatkan. Adapun dalam prosesnya, saya berharap pula guru-guru dapat menjadi fasilitator yang baik sehingga murid bukan hanya diperlakukan sebagai tempat menampung informasi namun juga sebagai subjek yang mandiri, yang merdeka jiwa raganya. Senada dengan ungkapan Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karsa, tut wuri handayani”.

 

 

Sebuah karya dari Ahmad Alwi Asagaf