Digital skill saat ini telah menjadi satu hal krusial bagi kita. Manusia sudah mengenal teknologi sejak revolusi industri yang dimulai pada pertengahan abad 18 di Inggris dan Amerika Serikat, dan hidup berdampingan dengan teknologi sejak itu. Ketika teknologi semakin dekat ke dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut harus lebih luwes mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Terbukti saat pandemi mulai menerjang kehidupan awal 2020 lalu. Saat interaksi fisik dibatasi, manusia tetap harus berinteraksi tetapi melalui dunia maya, dalam banyak bentuk. Kerja dari rumah (work from home; WFO) dan kelas online adalah dua dari banyak bentuk adaptasi dan resiliensi manusia hidup di tengah pandemi.
Tidak cukup hanya dengan soft skill dan hard skill, salah satu yang perlu dikembangkan sebagai adaptasi dan resiliensi hidup di tengah pandemi adalah digital skill. Digital skill atau keterampilan digital merupakan kemampuan memahami dan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak untuk kehidupan sehari-hari secara efektif. Keahlian ini termasuk tetapi tidak terbatas pada bagaimana orang menggunakan gawai dan aplikasi untuk pertemuan daring atau kelas daring, juga bagaimana orang menggunakan gawai dan aplikasi untuk mempermudah banyak aspek dalam kehidupan.
Dengan segala sesuatu yang sudah terdigitalisasi, keterampilan digital menjadi semakin perlu diasah. Jika dulu para mahasiswa arsitektur menggunakan selembar kertas besar untuk membuat desain, maka sekarang lebih sering menggunakan aplikasi seperti AutoCAD. Jika dulu mahasiswa melaksanakan ujian dengan duduk bersama di suatu ruangan, kemudian lembar soal dan jawaban dibagikan pengawas, lalu dikumpulkan saat waktu sudah habis, maka sekarang (terutama sejak pandemi) mahasiswa melaksanakan ujian dengan mengisi jawaban di aplikasi pengolah kata, kemudian dikumpulkan dalam format yang telah ditentukan kampus. Bagaimana mahasiswa mendesain menggunakan aplikasi, mengkonversi format dari .docx ke .pdf, menggunakan aplikasi berbasis desktop dan web untuk menyelesaikan tugas merupakan digital skill.
Meskipun lebih santer karena pandemi, tetapi digital skill ini juga dibutuhkan karena dorongan perubahan zaman. Dikutip dari situs Komnasdik Kediri, US-based Apollo Education Group menetapkan 10 (sepuluh) keterampilan yang diperlukan oleh peserta didik untuk bekerja pada abad ke-21, yaitu:
- Keterampilan berpikir kritis
- Komunikasi
- Kepemimpinan
- Kolaborasi
- Kemampuan beradaptasi
- Produktifitas dan akuntabilitas
- Inovasi
- Kewarganegaraan global
- Kemampuan dan jiwa entrepreneurship (kewirusahaan)
- dan Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mensintesis informasi
Menyaring informasi yang diakses dan menganalisisnya juga sebuah keahlian yang perlu dilatih. Orang yang sudah terbiasa dengan beragam arus informasi dari berbagai media tentu akan lebih mampu memfilter berita bodong alias hoax. Berbeda dengan orang yang belum mampu memilah dan memilih informasi yang masuk, semua informasi yang datang akan ditelan mentah-mentah dan bukan tidak mungkin berakibat fatal. Segala arus informasi dan aspek kehidupan yang sudah terdigitalisasi merupakan budaya digital atau digital culture, salah satu pilar pendamping digital skill.
Selain budaya dan keterampilan digital, terdapat juga etika digital atau digital ethics. Hal ini termasuk menaati aturan dan bijak dalam menggunakan media sosial. Bukan hanya dalam hal menyaring informasi, tetapi juga menyebarkan informasi, memahami apa yang boleh dan tidak boleh diketik kemudian disebarkan. Mampu membuat akun media sosial adalah keterampilan digital dan merupakan satu hal penting, tetapi paham cara mengelolanya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain adalah etika digital dan tidak kalah penting.
Jika hard skill adalah sesuatu yang kita pelajari di bangku pendidikan dan soft skill kita pelajari dari pengalaman, maka digital skill menggunakan keduanya untuk berinteraksi di dalam dunia digital, didukung dengan pilar-pilar digital lainnya. Katakanlah salah seorang sobat eCampuz mengikuti salah satu webinar Identika. Orang itu paham bagaimana mengoperasikan aplikasi seperti Zoom atau Google Meet. Akan tetapi, ketika dia akan meninggalkan laptop untuk ke kamar mandi sebentar, dia membiarkan mikrofon menyala dan tidak pamit sehingga peserta lain dan pemateri mendengar suara kucuran air keran di ember yang berisik. Hal ini tentu membuat kelas menjadi tidak kondusif.
― Simak materi-materi dari webinar Identika disini.
Sobat eCampuz juga perlu menyadari bahwa bijak dan mematuhi etika digital dalam menggunakan media sosial dan gawai juga dapat menjadi faktor penentu dalam mencari pekerjaan. Bayangkan seseorang yang mampu mengoperasikan banyak aplikasi, ikut tren teknologi terkini, tetapi pernah memposting sesuatu yang tidak patut di media sosial dan sempat dilayar-tangkap oleh warganet lain. Bisa dipastikan perusahaan juga akan mulai menandai orang tersebut karena tidak ingin perusahaan mereka juga terkena imbasnya.
Terakhir dan tidak kalah penting pilar yang mendampingi keterampilan digital adalah keamanan digital. Mengunci gawai dan menyimpan kata sandi sendiri merupakan tindakan bijak dan terpuji. Bayangkan apabila sobat eCampuz sudah mahir dalam keterampilan digital dan budaya digital, serta taat etika digital tetapi teledor perkara keamanan. Bukan tidak mungkin proyek enam bulan yang sobat eCampuz kerjakan dengan mengorbankan waktu tidur, akan berakhir disabotase teman sekelas dan nangkring manis di email dosen lebih dulu.
Baik untuk tambahan pengetahuan ternyata sudah dibahas 4 pilar