Blog eCampuz
Info, Lifestyle

Pendidikan sebagai Cita-cita Tak Berbatas Usia

Pendidikan sebagai Cita-Cita Tak Berbatas Usia

Bapak ibu adalah orang Yogyakarta asli yang bertransmigrasi ke Bangka Belitung karena ditugaskan di sana sebagai PNS. Dulunya mereka tidak bisa memilih akan ditempatkan di daerah mana, ketika penempatan ditetapkan maka akan dialokasikan langsung ke daerah penempatan dan tentu saja itu bukan di kota, tapi di daerah daerah terpencil. Pada masa itu bapak adalah lulusan Sekolah Guru Olahraga (SGO) dan ibu lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), setara dengan SMA pada saat sekarang. Kalau pernah dikisahkan, mungkin ini berat untuk bapak ibu yang tinggal di Yogyakarta dan serba ada tetapi harus pindah ke daerah terpencil untuk mengabdi yang alhamdulillah mereka benar-benar menjalani pengabdian itu sampai masa pensiun dengan penuh totalitas.

Kami tinggal di sebuah desa dan bersekolah di SD Negeri (SDN) yang cukup baik kala itu. Dianggap SDN terbaik di desa itu karena memiliki fasilitas yang cukup baik dari segi lingkungan dan ruang sekolahnya. Bapak mengajar di SD yang sama dengan tempat kami sekolah, sedangkan ibu di sekolah yang berbeda tapi tak jauh dari lingkungan kami tinggal. Berasal dari orang tua yang bukan penduduk asli, membuat kami berbeda dengan anak anak yang lain, kemampuan beradaptasi dan berani sepertinya sudah dilatih sejak kami kecil. Dari SD saya, adik, dan kakak sudah sering diikutkan dalam lomba-lomba yang diselenggarakan oleh sekolah, serta membaca buku juga adalah kegiatan sehari hari yang sering kami lakukan. masa kecil kami nampak seperti cerita pada buku-buku pelajaran SDπŸ˜‚. Baca juga: Kuliah di World Class University, Kenapa Tidak?Β 

Sebagai perantauan, kami tidak sering mudik. Tapi setiap mudik, selalu ada pengalaman yang diajarkan orang tua kepada kami. Saya masih ingat, bagaimana kami mudik menggunakan kapal untuk sampai ke jakarta yang menempuh waktu 24 jam. Dulu pesawat terbang memang sudah ada, tapi tidak semudah seperti sekarang. Dari Jakarta kami menggunakan bus untuk sampai ke Yogyakarta. Semakin besar, kami pun mencoba mudik menggunakan berbagai macam transportasi. Baik itu kereta dari kelas ekonomi hingga eksekutif. Percayalah kawan, butuh momentum mudik untuk menikmati semua pengalaman itu, hehe. Lalu mudik mulai menggunakan pesawat, setiap mudik bapak ibu selalu memberikan pilihan agar kami mencoba transportasi yang belum pernah kami naiki.

Kalau bicara soal pendidikan, orang tua kami sepertinya membuat hal tersebut yang paling utama di hidup anak-anaknya. Sejak SMP kakak tertua saya sudah harus berpisah dari keluarga untuk hidup ngekost dan pulang 1 minggu sekali, agar bisa sekolah di salah satu SMP di kota. Tidak terbayang bagaimana rasanya anak sekecil itu sudah berpisah dari orang tuanya, belajar untuk mandiri memperjuangkan pendidikannya.

Saat kelas 3 SD, orang tua kami juga membuat rumah di kota dengan tujuan agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, serta rela setiap harinya pulang pergi dari kota ke desa menempuh jarak 30 menit dalam 1 kali perjalanan. Jangan membayangkan jalanan kota seperti Yogyakarta ya hehe, karena jalanan yang dilalui adalah aspal yang kanan kirinya adalah hutan belantara dan diselingi beberapa desa. Kegiatan ini sudah mereka jalani selama 35 tahun lebih hingga kami dewasa.

Kalau saat ini saya bercerita, saya mungkin bisa membayangkan betapa orang tua saya sangat gigih dalam memperjuangkan pendidikan anak anak bahkan pendidikan beliau-beliau sendiri. Sebagai orang tua yang bekerja, memiliki 3 anak, dan bapak ibu masih terus melanjutkan sekolahnya. Saya ingat, dulu beberapa bulan sekali bapak ibu harus ke Palembang untuk menempuh ujian, dimulai dari pendidikan DII, DIII, bahkan sampai saya SMA bapak ibu kuliah S1. Jadi tak heran jika pendidikan sampai kuliah adalah hal wajib yang harus kami jalani sebagai anak-anaknya, tanpa terkecuali. Beliau berdua adalah panutan bagi kami anak-anaknya.

Bukan hanya soal pendidikan formal, bapak ibu juga mendukung bakat-bakat kami di bidang lainnya asal tetap bertanggung jawab pada sekolah. Seperti adik yang suka melukis, diasah kemampuannya dengan dilengkapi alat-alat yang menunjang, kakak yang suka memasak dan mengikuti lomba diantar jemput untuk melakukan praktek di sekolahnya hampir setiap hari. Kami sepertinya dibebaskan untuk berani mengambil keputusan asal berani menanggung risikonya. Pernah ada kejadian saking pengennya ngeband di kelas 3 SMA sampai nilai raport urutan ke 25, bapak ibu gak marah, cuma waktu itu deg-degan dipanggil ke meja makanπŸ˜‚πŸ˜‚.Β 

Dulu saat akan masuk jenjang kuliah, bapak bahkan membuat rapat dengan para wali murid agar kami para siswa bisa mengikuti ujian mandiri untuk masuk UGM dengan biaya yang agak minim. Iya, UGM kampus yang menjadi cita-cita banyak orang, untuk test saja kami harus datang langsung ke Yogyakarta yang mengeluarkan biaya cukup banyak kala itu. Apakah masuk? tentu tidak πŸ˜‚πŸ˜‚, tapi mudah-mudahan ya bisa menempuh pendidikan di sana, Amiin. Baca juga: Apasih Maksud Prasyarat dan Kesetaraan Mata Kuliah?

Tahun 2008, berangkatlah saya ke Yogyakarta untuk kuliah, sendiri. Yup, sendiri tanpa diantarkan orang tua dan bukan hal yang istimewa sebenarnya, karena mendaftar sekolah seorang diri itu sudah dilakukan sejak SMP. Sampai di Yogyakarta bukan main herannya, bertemu banyak orang dari berbagai macam suku dan daerah, sangat terheran-heran, bahkan saya menyadari toleransi saya minim kala itu. Merasa aneh jika orang berbeda dengan kita. Tapi ternyata bukan hanya belajar di perguruan tinggi saja ilmu yang kita dapatkan, tapi proses untuk menyelesaikan pendidikan itu sendiri berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari. Di Yogyakarta saya mencari tempat kuliah sesuai dengan jurusan yang saya inginkan. ngekos dengan teman-teman dari berbagai daerah dan berbagai jurusan membuat saya semakin lama semakin maklum bahwa setiap orang itu berbeda dan dididik dengan pola asuh dan pola pikir yang bermacam macam.

Perjalanan kuliah saya tidak selalu lancar, bahkan saya pernah pindah kuliah dari universitas ke sekolah tinggi karena akreditasi jurusan yang saat itu masih C, orang tua saya memastikan saya aman untuk kedepannya. Tapi justru itu yang menjadi titik balik ternyata. Pindah perguruan tinggi ternyata membuat saya takut, takut ternyata sia-sia, takut jika tidak lulus tepat waktu seperti rekan-rekan saya lainnya, banyak ketakutan hadir saat itu.

Moment tersebut ternyata memantik diri saya unjuk berjuang lebih dari sebelumnya. Saya mulai masuk organisasi, mulai mengatur target kuliah, dan berusaha menyeimbangkan diri antara organisasi dan kuliah, belajar mengenal diri saya sendiriπŸ˜‚πŸ˜‚.Β  Dulu awal-awal kuliah ikut organisasi, presentasi di depan teman-teman sendiri aja langsung pengen ke toilet, siapa yang ngerti sekarang malah berkerja dengan jobdesc presentasi terus, dan bertemu berbagai macam orang. Ilmu itu memang bisa didapatkan dari mana aja, gak harus dari pendidikan formal, bagus juga kalau juga menjalani pendidikan informal. Tapi percayalah, pendidikan itu mengajarkan kita tentang aturan, toleransi, dan manajemen waktu, yang menjadi bekal untuk meminimalisir resiko yang kita hadapi dalam menjalani hidup.

Saat ini sudah 14 tahun ternyata saya di Yogyakarta, meninggalkan tanah kelahiran saya dan bersyukur dengan kehidupan yang sama miliki saat ini. Rasanya tidak mungkin kualitas hidup saya sebaik ini tanpa perjuangan orang tua saya dalam mengarahkan saya pada pendidikan yang lebih baik. Bahkan setelah menjadi ibu untuk 2 anak, saya menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai bekal kita menjalani peran individu agar dapat bermanfaat untuk orang orang di sekeliling kita. Pendidikan itu patut untuk diperjuangkan sampai usia kapanpun.

Β 

Penulis: Dian Utari – Project Manager & Application SpecialistΒ Team PT. Solusi Kampus Indonesia

Related posts

5 Rekomendasi Item Outfit Kece & Sopan di Kampus

eCampuz
2 years ago

5 Alasan Penting Transfer Knowledge eCampuz

Awaludin Zakaria
6 years ago

5 Jenis Teknologi untuk Presensi Kuliah, Kampus Kamu Pakai yang Mana?

eCampuz
11 months ago
Exit mobile version