Nalar dan Manusia yang Unggul
Bicara tentang pendidikan memang tak akan ada habisnya. Pada saat kita masih kecil, ibu selalu berkata untuk rajin belajar agar kelak menjadi orang berada. Lalu, yang berada itu seperti apa dan sebenarnya pendidikan itu untuk apa? Tentu tidak ada yang salah akan harapan ibu terhadap anak kebanggaannya itu. Toh, pendidikan tinggi yang diraih seseorang memang acapkali dikaitkan dengan pekerjaan yang layak dan masa depan yang terjamin. Mendapat pekerjaan yang sesuai di perusahaan mentereng tentu selalu menjadi impian bagi mereka yang baru lulus dari perguruan yang katanya tinggi itu. Hal tersebut tentu sah-sah saja, karena mereka juga butuh akan penghidupan dan pengakuan.
Namun, disatu sisi beberapa pekerjaan membutuhkan latar pendidikan dan keahlian khusus sehingga tidak sembarang orang bisa melakukannya. Belum lagi kendala adanya “orang dalam” yang masih masif dan populer dikalangan masyarakat kita, sulit bukan?
Sejenak terpikir, apa benar tujuan kita berpendidikan itu hanya ingin memperoleh pekerjaan dan jabatan semata? Kalo iya, berarti ada yang salah dengan nalar anda. “Pendidikan yang memerdekakan manusia!” Begitu cetusan konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, seorang yang mendapat julukan Bapak Pendidikan Bangsa. Artinya, pendidikan itu harus bersandar pada penciptaan jiwa yang merdeka, cakap, dan berguna bagi masyarakat. Dalam sebuah artikel, dibahas bahwa beliau lebih memandang manusia pada sisi psikologis sebagai individu yang memiliki daya jiwa, yaitu cipta, karsa, dan karya. Beliau juga menitikberatkan pengembangan manusia harus dilakukan secara seimbang.
Lalu, apakah konsep itu terpakai di pendidikan bangsa kita saat ini? Mungkin ada yang berpendapat sudah, ada juga yang belum. Lagi-lagi hal itu sah-sah saja, toh itu hanya pendapat dan nalar seseorang semata. Ada sebuah perbandingan dimana ada pribadi yang lebih pintar, gelar berderet, tapi korupsi, bandingkan dengan anak pedagang, haus akan pengetahuan apapun itu, tapi memilih untuk hidup nyaman dan tak terlalu mengejar dunia, mana yang lebih baik? Jawabannya tentu tidak ada yang pasti, karena kita tidak menjalani kedua hal tersebut.
Lalu, Apa Itu Pendidikan?
Pendidikan adalah modal kita untuk menjalani kehidupan. Pendidikan dalam bentuk apapun bertujuan untuk menyiapkan manusia dalam tiga aspek, kehidupan, pekerjaan, dan ketenangan. Perlu ditegaskan juga pendidikan berbeda dengan kemauan dan kemampuan. Kemauan seseorang berasal dari nalar dan jiwa manusia itu sendiri, contohnya banyak lulusan perguruan tinggi namun sulit untuk mendapat pekerjaan. Manusia tak ber-nalar acapkali menyalahkan aspek lain akan masalah yang dihadapi saat itu dan saat ini.
Beda lagi dengan manusia yang ber-nalar, mereka cenderung mencari kesempatan lain dengan mengikuti pendidikan yang sudah tersebar dimana-mana bahkan di tempat paling kotor/bawah sekalipun, mereka tetap haus akan pengetahuan.
Memang menempuh pendidikan yang tinggi agar nantinya mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak itu tidak ada yang salah, toh setiap orang butuh bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan gengsinya.
Namun, apa salah jika kita bekerja tapi tidak segaris dengan apa yang kita pelajari sebelumnya? Kita juga bisa untuk menciptakan perubahan dan belajar sesuatu dari pekerjaan yang kita jalankan. Anggap saja seorang yang berprofesi sebagai driver di salah satu aplikasi karya anak bangsa, mereka banyak loh yang mengenyam pendidikan tinggi, namun mereka memilih profesi itu. Alasannya karena mereka butuh akan penghidupan.
Bukan tentang apa itu profesinya tapi, bagaimana mereka berkembang dari profesi tersebut. Pernah suatu waktu menggunakan jasa karya anak bangsa dan berbicara dengan drivernya, beliau berkata senang menjalani pekerjaan tersebut karena bisa berelasi dan belajar dari pelanggan-pelanggannya. Beliau pernah berkata, saya belajar bagaimana handle pelanggan yang “cerewet”, handle pelanggan yang berpangkat bahkan yang “belok” sekalipun. Tak ada yang salah, sepenangkapku beliau belajar bagaimana menjadi manusia yang memanusiakan manusia dan seharusnya itu yang harus kita ikuti. Tidak ikut berprofesi seperti beliau juga namun, yang mesti kita pelajari sebagai manusia ialah bagaimana kita bisa memanfaatkan, improvisasi, dan belajar untuk mengembangkan diri di suatu pekerjaan yang kita kerjakan saat ini.
Tak ubahnya seperti diriku, seorang lulusan informatika yang terjun dalam dunia kreatif dan berbau marketing. Sebagai lakon dalam dunia ku saat ini, aku harus menjadi manusia penuh improvisasi untuk berkembang dan menggapai semua ilmu yang ada. Contoh kecilnya, dulu hanya mengenal angka 1 dan 0 saja namun, di posisi ku saat ini sebagai manusia aku menjadi bisa berkata-kata manis bahkan berpolitik untuk berkembang atau mengamankan diriku sendiri.
Dari cerita-cerita tersebut tertangkap sebuah pemikiran, salah jika kita menempatkan pendidikan hanya sebagai sarana untuk menaikkan strata sosial atau hanya mencari ijazah semata. Hal ini tentu mereduksi tujuan dan makna pendidikan itu sendiri. Manusia yang berpikir dan bernalar seperti itu membuat lembaga pendidikan tak ubahnya hanya sebagai pabrik ijazah dan gelar saja, padahal pendidikan memiliki makna dan tujuan yang lebih krusial daripada hanya sekadar strata sosial atau yang hanya dinamakan sebagai jabatan.
Dari sini sebagai manusia saya belajar bagaimana mengembangkan nalarku untuk menciptakan jalanku menuju Roma, toh banyak jalan menuju Roma artinya banyak jalan untuk menuju kesuksesan. Tidak hanya materi, kesuksesan itu salah satunya mendapat hidup yang tenang tanpa terkejar dunia bukan?
Terakhir, ingin ku titipkan pesan. Kembangkan nalarmu, ciptakan jalanmu, dan lalui itu dengan hatimu. Selalu berproses kedepan dan jangan bandingkan jalanmu dengan orang lain karena hidup ini bukan perlombaan, namun sebuah papan kehidupan yang musti kita pahat dengan karya kita sendiri. Satu lagi, selalu tanamkan perubahan dalam hidupmu karena perubahan seringkali membawa hal yang baru dan itu menarik untuk dipahat menjadi karya yang lebih indah dalam hidupmu sebagai manusia unggul.
Sebuah pemikiran dari Adhitya Pandu Perdana